Bahasa merupakan salah satu alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat.
Perkembangan bahasa Indonesia begitu pesat sehingga hal itu menyebabkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia kadang-kadang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Sebagai contoh, pemakai bahasa Indonesia, seperti wartawan kadang-kadang tidak memedulikan kaidah k, p, t, s dalam menuangkan tulisannya di media-media cetak. Banyak ditemukan ketidakseragaman dalam penulisan setiap kata yang dimulai dengan fonem p baik yang bersuku kata dua maupun tiga jika diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) fonem pertamanya ada yang melebur/luluh (sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia) ada juga yang tidak melebur. Ketidakseragaman tersebut tampak dalam media cetak: surat kabar, tabloid, dan majalah. Contohnya, mengapa kata pengaruh, social, peduli, perkosa, popular, komunikasi, pesona, perhati, jika diberi awalan me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i atau meng-, ada yang melebur/luluh menjadi memengaruhi, menyosialkan, memedulikan, memerkosa, memopulerkan, mengomunikasikan, memesona, dan memerhatikan tetapi ada juga yang tidak melebur/luluh menjadi mempengaruhi, mensosialkan, mempedulikan, memperkosa, mempopulerkan, mengkomunikasikan, mempesona dan memperhatikan?
Padahal wartawan khususnya atau pemakai bahasa Indonesia umumnya sudah konsisten menggunakan kata bersuku kata dua atau tiga yang dimulai dengan fonem k, p, t, s jika diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) menjadi luluh. Hal tersebut tampak pada kata: kerja, potong, pentas, sapu, tutup, tenggara, taat, selimut, setuju, selinap, selingkar, selenggara, sentralisasi, sesuai, setrika, siaga, pelihara, periksa, sunting, sempurna, teliti, tengadah, seruduk yang diberi awalan me(N)- atau meng- (beserta variasi imbuhannya) menjadi mengerjakan, memotong, mementaskan, menyapu, menutup, menengarai, manaati, menyelimuti, menyetujui, menyelinap, menyelingar, menyelenggarakan, menyentralisasi, menyesuaikan, menyetrika, menyiagakan, memelihara, memeriksa, menyunting, menyempurnakan, meneliti, menengadah, menyeruduk.
Berdasarkan kenyataan tersebut, tampak jelas bahwa wartawan/pemakai bahsa Indonesia lebih menaati kaidah k, p, t, s untuk setiap kata yang berkuku kata dua dibandingkan dengan bersuku kata tiga atau lebih. Tampaknya kita sulit membuat aturan baru, yakni kaidah k, p, t, s hanya berlaku untuk setiap kata yang bersuku kata dua. Hal itu disebabkan oleh kita sudah terlanjur menggunakan kata menyelimuti, menyelenggarakan, menyesuaikan, menyetrika, memeriksa, menyelinap, menyunting. Dalam hal ini, perlu ada standarisasi yang jelas untuk kaidah k, p, t, s.
Sehubungan dengan hal terebut, pantas saja sejumlah mahasiswa mengelar aksi unjuk rasa dengan memegang sebuah poster bertuliskan “Aku cinta bahasa Indonesia” di sekitar Bundaran HI Jakarta beberapa waktu lalu. Karena tanpa ada standarisasi bahasa Indonesia yang baik dan benar, justru hal itu membuat pengimbuhan kata Indonesia dan kata serapan menjadi tidak seragam dan gamang. Akibatnya, hal itu bisa membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia.
Jadi, siapkah kita berpegang pada standarisasi untuk fonem k, p, t, s. Hal itu tampaknya bergantung pada kesiapan dan kedisiplinan masyarakat pemakai bahasa dalam menaati kaidah-kaidah yang sudah ada.